SAMUDRANEWS.ID – “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.”
Kutipan legendaris Bung Karno itu bukan sekadar ungkapan penuh semangat. Bagi Dr. Luqmanul Hakiem Ajuna, dosen muda dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, kalimat itu menjadi panggilan aksi sebuah tekad untuk menggugah perubahan di kampusnya sendiri. Dan itulah yang ia tunjukkan ketika maju dalam bursa calon Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo.
Di tengah tradisi panjang birokrasi kampus yang sering didominasi wajah-wajah lama dan kompromi-konpromi politik yang membelenggu, hadirnya sosok muda seperti Dr. Luqman membawa angin segar dan semangat baru. Ini bukan semata langkah karier, tetapi representasi keresahan dan harapan kolektif generasi muda akademisi akan perubahan yang nyata dan berani.
Selama bertahun-tahun, posisi rektor di berbagai perguruan tinggi nyaris menjadi arena tertutup. Bagi yang muda, masuk ke ruang pengambilan keputusan tertinggi seperti hanya mimpi. Tapi Dr. Luqman membalik asumsi itu. Ia menunjukkan bahwa usia muda bukanlah batasan, melainkan kekuatan yang mampu mendobrak stagnasi.
Dalam sistem yang kerap tersandera oleh kepentingan pragmatis dan politik internal, keberanian untuk tampil adalah sebuah perlawanan. Sebuah langkah yang membuka ruang harapan baru bagi regenerasi kepemimpinan akademik.
Nazmi Adila Mokodongan, Mantan Presiden Mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo periode 2024–2025, melihat pencalonan ini sebagai sinyal perubahan besar.
“Ia membawa pesan bahwa kepemimpinan kampus tidak lagi harus menunggu usia atau derajat senioritas, melainkan ditentukan oleh visi, integritas, dan kapasitas untuk menjawab tantangan zaman,” tegasnya.
Nazmi menambahkan, kampus-kampus Islam harus bisa menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Tidak bisa lagi jalan di tempat.
“Namun tentu saja, keberanian ini tidak datang tanpa risiko. Sistem pemilihan rektor masih sangat politis. Proses yang terjadi di ruang-ruang senat kerap kali tidak sepenuhnya transparan dan lebih mengedepankan stabilitas relasi antar kelompok ketimbang terobosan substantif,” terangnya.
Tantangan tidak hanya datang dari sistem, tetapi juga dari resistensi individu yang merasa terganggu oleh kehadiran generasi muda yang mulai menuntut ruang. Namun justru di sanalah nilai strategis dari langkah ini.
“Meski demikian, justru di sinilah letak pentingnya pencalonan ini. Keikutsertaan Dosen milenial ini membuka ruang wacana baru tentang pentingnya regenerasi dalam kepemimpinan akademik,” jelas Nazmi.
Menurutnya, sosok Dr. Luqman menantang pandangan kuno bahwa hanya mereka yang telah lama menjabat yang layak memimpin.
“Ia menyuarakan bahwa visi dan keberanian intelektual pun pantas mendapatkan tempat di ruang pengambilan keputusan tertinggi,” lanjutnya.
Gerakan perubahan ini memerlukan dukungan penuh dari seluruh elemen civitas akademika. Mahasiswa, dosen muda, alumni, dan seluruh insan kampus perlu terlibat aktif.
“Dukungan bukan hanya dalam bentuk suara, tapi juga dalam menghidupkan diskursus kritis agar pemilihan rektor tidak menjadi rutinitas administratif, melainkan momentum demokratisasi kampus yang sejati,” tambahnya.
Pencalonan ini bukan tentang menang atau kalah. Ini tentang membuka jalan. Ini tentang generasi muda yang menolak diam dan mulai berbicara lantang.
“Bahwa di era ini, kampus yang sehat adalah kampus yang berani memberi tempat bagi yang muda, yang berpikir bebas, dan yang bersuara lantang demi perubahan,” pungkasnya.
Langkah Dr. Luqman adalah pesan kuat bagi semua anak muda di dunia akademik: bahwa ruang kepemimpinan bukan monopoli usia tua. Siapa pun yang memiliki gagasan dan keberanian, layak mengambil tempat di garis depan perubahan. (Lid)