Oleh: Nain Ismail, kader Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Pohuwato (KPMIP) Cabang Limboto
SAMUDRANEWS.ID, (Opini) – Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2025
Di bawah langit yang semakin kotor, di atas tanah yang kian tercemar, dan di antara sungai-sungai yang berubah warna, kami tidak datang membawa selebrasi Hari Lingkungan Hidup. Kami datang dengan peringatan keras, dengan suara rakyat yang dicekik oleh kerakusan, dan dengan tuntutan kepada Bupati Pohuwato yang telah menjelma menjadi arsitek pembiaran ekosida paling brutal di tanah kami.
Pohuwato hari ini bukan sekadar mengalami degradasi lingkungan. Pohuwato dihancurkan secara sistematis, dibiarkan sekarat oleh penguasa yang lebih mencintai kelanggengan jabatan ketimbang keberlanjutan bumi. Dan di tengah tragedi ini, satu figur utama duduk di singgasana kekuasaan, diam, menyaksikan dari balkon kekuasaan tanpa sedikit pun upaya memutus kejahatan pertambangan emas tanpa izin (PETI).
Negara Absen, Pemerintah Daerah Mati Nurani
Di buku-buku pendidikan kewarganegaraan, kami diajarkan bahwa negara hadir untuk melindungi rakyat dan sumber dayanya. Tapi di Pohuwato, teori itu karam. Negara absen, dan pemerintah daerah sekarat nuraninya.
Bagaimana mungkin PETI yang sedemikian destruktif bisa beroperasi dengan ekskalasi tinggi tanpa ada satu pun tindakan tegas? Apakah bupati buta? Apakah ia tuli dari jeritan sungai yang berubah warna? Dari suara anak-anak yang mandi di air keruh? Dari petani yang sawahnya rusak karena sedimen tambang?
Jika bukan karena keterlibatan langsung, maka pembiaran seperti ini hanya bisa lahir dari mentalitas penguasa yang takut pada oligarki, atau lebih buruk: bagian dari jaringannya.
Tidak Ada Alasan, Hanya Dosa Struktural
Kami muak dengan retorika “masih dalam kajian.” Muak dengan omong kosong seperti “perlu kerja sama lintas sektor.” Lingkungan bukan sedang menunggu koordinasi. Lingkungan sedang dibunuh, dan pelakunya dilepaskan. Dan ketika bupati memilih bungkam, maka ia menjadi bagian dari pelaku.
Hari ini, bukan hanya tambang yang ilegal. Tapi juga diamnya bupati adalah bentuk ilegalitas moral dan politik. Ia telah gagal sebagai pemimpin, gagal sebagai pelindung rakyat, dan gagal sebagai manusia yang seharusnya berpihak pada keberlanjutan hidup.
PETI Adalah Mesin Kematian
PETI bukan hanya tentang lubang tambang. PETI adalah mesin pembunuh jangka panjang. Ia menghancurkan hutan sebagai paru-paru daerah, mencemari sungai yang menjadi sumber air utama, mengendapkan logam berat ke dalam tanah, dan mewariskan racun bagi generasi yang belum lahir.
Bupati yang membiarkan semua itu terjadi adalah bupati yang sedang menandatangani akta kematian massal masyarakatnya sendiri. Di titik ini, netralitas adalah mitos. Pembiaran adalah kejahatan.
Hari Lingkungan: Momentum Menggugat
Hari ini, di seluruh dunia, jutaan orang menyerukan keadilan iklim, perlindungan lingkungan, dan pengendalian atas keserakahan korporasi. Tapi di Pohuwato, kami tidak bisa berbicara tentang perubahan iklim global ketika bupati kami sendiri membiarkan lingkungan lokal dihancurkan dengan brutal.
Bagi kami, Hari Lingkungan adalah momentum menggugat. Kami, mahasiswa dan pelajar Pohuwato, tidak akan lagi diam. Tidak ada lagi ruang untuk basa-basi ekologis dari para pejabat yang sibuk mengatur pencitraan tapi menutup mata dari PETI yang setiap hari menggali kuburan bagi kampung kami.
Tuntutan Kami
Dengan ini KPMIP Cabang Limboto menyatakan bahwa:
1. Bupati Pohuwato harus dimintai pertanggungjawaban atas pembiaran PETI.
2. Gubernur Gorontalo sebagai atasan langsung juga harus bertindak, bukan hanya beretorika.
3. Kapolda Gorontalo dan Kapolres Pohuwato wajib diperiksa karena minimnya penegakan hukum terhadap tambang ilegal.
4. KPK dan Kementerian Lingkungan Hidup harus segera melakukan investigasi independen.
Jika negara tak bergerak, maka rakyat yang akan bergerak. Jika hukum dibeli oleh tambang, maka suara kami akan menjadi palu keadilan itu sendiri.
Penutup: Antara Iduladha dan Pengorbanan yang sia-sia
Tahun ini, Hari Lingkungan bertepatan dengan momentum Iduladha sebuah peringatan pengorbanan agung demi ketaatan kepada Tuhan. di Pohuwato, yang dikorbankan bukan kambing atau sapi. Yang dikorbankan adalah hutan, sungai, tanah, dan rakyat kecil. Dan pengorbanan ini dilakukan tanpa ridha, tanpa keadilan, dan tanpa ampun.
Kami tak butuh belas kasihan. Kami menuntut keadilan. Dan selama PETI masih dibiarkan merajalela, selama pejabat masih nyaman di kursi empuknya tanpa bertindak, maka perlawanan akan terus kami kobarkan di jalanan, di ruang-ruang diskusi, di setiap kata, dan di setiap tulisan.
Bupati Pohuwato, lihatlah pohon-pohon yang rubuh, air yang tercemar, dan tanah yang mati. Itu bukan kutukan alam. Itu adalah cermin dari pengkhianatan Anda.